ABSTRACT
Along with
the development of globalization, world trade and developing the business world
come with the emergence of a business transaction with technology (high-tech
improvement). This condition on the one hand brings advantages mainly due to
efficiency, but on the other hand brings doubts, especially for legal matters
regarding the legal certainty or of legal certainty, the validity of a business
transaction, issue a digital signature (digital signature), massage the data,
the originality (authenticity) of data , the confidentiality of the document
(privacy), the law designated in case of breach of contract (breach of
contract), the problem of legal jurisdiction and applicable law (law aplicable)
in the event of a dispute, the tax (tax), as well as consumer protection
against users (protections of consumers) . This paper aims to raise legal
issues regarding the transaction (trade) via electronic media (e-commerce) as
well as the legal aspects of proof in transactions via electronic media
(e-commerce).
PENDAHULUAN
Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global
communication network) dengan semakin populernya internet telah membuat
dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan
batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan masyarakatnya. Ironisnya,
dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai
masyarakat industri dan masyarakat informasi, seolah masih prematur untuk
mengiringi perkembangan teknologi tersebut.
Teknologi informasi dibuat untuk memudahkan para penggunanya
dalam mencatat suatu transaksi, menyimpannya dalam bentuk data,
mentransformasikannya menjadi informasi dan menyebarkannya kepada para pemakai
informasi. Dalam dunia
bisnis teknologi informasi mempunyai dampak besar, misalnya transaksi bisnis yang dicatat secara on-line akan diolah dan pada saat yang hampir bersamaan (real-time) hasil
pengolahan atau informasinya dapat dilihat, seperti yang lazim
dilakukan para nasabah bank saat melakukan transaksi pada ATM (automated teller machine). Pada
saat ini informasi menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan
bisnis, dengan dukungan teknologi informasi, informasi semakin mudah diperoleh
tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Pada awalnya internet hanya dapat digunakan sebagai media
pertukaran informasi dilingkungan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) dan
lembaga penelitian.
Baru pada tahun 1995-lah internet mulai terbuka untuk masyarakat luas. Kemudian
untuk lebih memudahkan masyarakat mengakses informasi internet, dimana Tim
Berners-Lee mengembangkan aplikasi World Wide Web (www).
Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet juga
mulai digunakan untuk kepentingan perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang
mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yaitu
meningkatnya permintaan atas produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan
untuk melakukan transaksi perdagangan.
Di Indonesia sendiri, fenomena transaksi
dengan menggunakan fasilitas internet
e-commerce dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya
situs http://
www.sanur.com
sebagai toko buku
on-line
pertama. Meski belum popular, pada tahun 1996 mulai bermunculan berbagai situs
yang melakukan
e-commerce.
Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi
e-commerce di Indonesia sedikit menurun disebabkan
krisis ekonomi. Namun sejak tahun 1999 hingga saat ini transaksi
e-commerce
kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada
minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal
teknologi.
Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi adalah
jual beli yang dilakukan melalui media elektronik dan dikenal dengan kontrak
jual beli secara elektronik. Berdasarkan sumber hukum di Indonesia, kontrak
jual beli harus memiliki beberapa klausula-klausula yang tekstual yaitu
berbentuk akta atau kontrak secara tertulis, jelas dan nyata, baik berupa akta
otentik maupun akta dibawah tangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pelaksanaan kontrak jual beli termasuk hak dan kewajiban dari para pihak dalam
kontrak tersebut.
Transaksi melalui web adalah salah satu
fasilitas yang sangat mudah dan menarik. Seorang pengusaha, pedagang (vendor)
ataupun korporasi dapat mendisplay atau memostingkan iklan atau informasi
mengenai produk-produknya melalui sebuah website atau situs, baik melalui situsnya sendiri atau
melalui penyedia layanan website komersial lainnya. Jika tertarik, konsumen dapat
menghubungi melalui website
atau guestbook
yang tersedia dalam situs tersebut dan memprosesnya lewat website tersebut
dengan menekan tombol ‘accept’, ‘agree’ atau ‘order’. Pembayaran pun dapat segera diajukan melalui
penulisan nomor kartu kredit dalam situs tersebut.
Namun di samping beberapa keuntungan yang
ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga
menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun
ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas
kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara
langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith)
sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi.
Ada beberapa hal yang sering muncul dalam kontrak jual beli
melalui media elektronik ini yang timbul sebagai suatu kendala seperti kekuatan
perjanjian, perpajakan, metode pembayaran, peradilan, perlindungan hukum, tanda
tangan elektronik, penyelesaian sengketa yang terbentuk dalam suatu sistem jaringan
kerja secara langsung. Masalah-masalah tersebut menimbulkan permasalahan hukum
mengenai aspek hukum perjanjian yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian agar
memenuhi kepastian hukum, dalam hal ini dokumen berwujud nyata atau tertulis
sebagaimana terjadi dalam jual beli secara konvensional. Sementara itu kontrak
jual beli secara elektronik dilakukan dalam dunia maya (virtual world), tanpa
adanya dokumen nyata yang tertulis seperti akta, baik akta otentik maupun akta
bawah tangan, kondisi seperti itu akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan
pembuktian apabila terjadi sengketa pada jual beli secara elektronik tersebut.
Untuk itu tulisan
ini mencoba mengkaji hal terkait dengan transaksi e commerce dilihar dari sisi pembuktian pada sistem hukum Indonesia.
Tulisan akan melihat permasalahan bagaimanakah kekuatan pembuktian akta elektronik dalam
transaksi e-commerce di Indonesia?
dan bagaimanakah jaminan perlindungan hukum dalam transaksi e-commerce di Indonesia?
Dalam mengkaji hal terkait dengan
pembuktian transaksi e commerce dilakukan melalui secara deskriptif
analitis, dengan melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta berupa data
sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan perjanjian dan kekuatan pembuktian dalam kontrak secara elekronik, bahan hukum
sekunder yaitu pendapat ahli hukum terkemuka (doktrin), dan bahan hukum
tertier, kamus hukum yaitu sumber lain yang bukan perundang-undangan.
Metode pendekatan yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis normatif dan empiris yaitu metode pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai
norma, kaidah, asas atau dogma-dogma. Tahap pendekatan ini dilakukan dengan
penafsiran gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan masalah kontrak jual beli secara
elektronik, melakukan kontruksi hukum Argumentum A Contrario, yaitu
argumentasi kebalikan dari pendapat/sumber yang digunakan dalam melakukan
penelitian, melakukan perbandingan hukum karena membahas hubungan peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lain untuk menjamin kepastian hukum
berdasarkan positivisme hukum, bahwa perundang-undangan yang berlaku
benar-benar dilaksanakan oleh para penegak hukum dan penguasa.
Dasar Hukum Akta
Perjanjian merupakan bagian
terpenting perikatan disamping sumber lainnya. Ketentuan pada Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang” dan Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Para ahli hukum memberikan pengertian tentang perjanjian, selain
batasan yang diberikan oleh undang-undang, diantaranya Subekti mengatakan bahwa
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dalam membuat perjanjian
sendiri, harus diperhatikan hal terkait dengan syarat sah perjanjian. Hal yang
perlu diperhatikan agar suatu perjanjian dikatakan sah, yaitu harus memenuhi
syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW) yaitu:
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri,
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
c.
Suatu hal tertentu,
d.
Suatu sebab yang halal.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), Subekti juga
menyatakan sebagai berikut :
“Keempat
syarat-syarat itu secara umum dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut juga syarat objektif. Digolongkannya empat syarat
pada Pasal 1320 BW itu menjadi dua, karena syarat yang pertama dan kedua
mengenai orang-orang yang membuat perjanjian (para pihak dalam suatu
perjanjian), sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir
disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian yang dilakukan.”
Berdasarkan azas konsensualisme, kontrak dianggap ada
seketika setelah adanya kata sepakat, dalam hal ini kontrak jual beli dianggap
terjadi pada saat kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga. Sifat
konsensual dari jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 Burgerlijk Wetboek (BW) yang berbunyi
jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum
dibayar.
Aspek Hukum Sistem Pembuktian di
Indonesia
Mengenai pembuktian selalu
akan dipersoalkan apakah sebenarnya yang dapat dibuktikan itu. Beberapa ahli
hukum mengatakan yang harus dibuktikan apabila terjadi sengketa hukum adalah
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, seperti adanya
hak milik, adanya piutang, hak waris, dan sebagainya, oleh karena itu dalam persidangan
hakim harus membuktikan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan
adanya suatu hak.
Legalitas atau keabsahan
dari kontrak atau perjanjian khususnya dalam akta elektronik menjadi fenomena
yuridis baru bagi hukum positif Indonesia pada umumnya. Sehingga hal ini perlu dilakukan kajian lanjut
terhadap aspek hukum khususnya aspek hukum pembuktian.
Proses pembuktian
terhadap peristiwa dapat dilakukan dengan beberapa cara. Menurut Paton dalam
bukunya A Textbook Of Jurisprudence disebutkan bahwa, alat bukti dapat
bersifat oral, documentary, atau
materiil, alat bukti yang bersifat
oral merupakan kata-kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan, artinya
kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral, alat bukti yang bersifat documentary
adalah alat bukti yang surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti
yang bersifat materiil adalah alat
bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen.
Pembuktian merupakan tahap yang menentukan proses perkara, karena dari
hasil pembuktian diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Ada 2 (dua) unsur yang memegang peranan penting dalam
pembuktian yaitu unsur alat bukti dan peraturan pembuktian.
Dengan diberlakukannya UU ITE, terdapat pengaturan baru mengenai alat bukti yaitu
diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti. Berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa Informasi elektronik dan/atau Dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat 2 UU ITE ditentukan bahwa Informasi
elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, UU ITE telah menentukan bahwa
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan
dapat digunakan dimuka persidangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai
dengan ketentuan dalam UU ITE. Dengan demikian, penggunaan Dokumen Elektronik
sebagai alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE, yang
menentukan bahwa ”.... Dokumen Elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga
menerangkan suatu keadaan.
Ketentuan tersebut dikecualikan, sebagaimana termaksud
dalam Pasal 5 ayat 4 UU ITE, yang menentukan ada beberapa
jenis Dokumen Elektronik yang tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila
terkait dengan pembuatan : Surat yang menurut Undang-undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan Surat beserta
dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta Notariil
atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam rangka pembuatan perjanjian/transaksi elektronik, keabsahan suatu
dokumen elektronik di dalamnya harus memuat sebuah tanda-tangan elektronik
(vide pasal 1320 angka (1) B.W.) Sebuah Tanda
Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama
memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UU ITE, yaitu :
a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya
kepada Penanda Tangan;
b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat
proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang
terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
f. Terdapat cara
tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
Pada ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 12 ayat 2 UU ITE menyebutkan Setiap orang yang
terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas
Tanda Tangan Elektronik yang digunakan.
UU ITE melarang
perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 27 sampai dengan
Pasal 37, yang menentukan bahwa jika terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan
teknologi informasi, terkhusus Dokumen Elektronik, yang merugikan bagi pihak
lain, dapat digugat/dituntut baik secara keperdataan maupun kepidanaan, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 38, Pasal 39,
serta Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 UU ITE.
Proses Akta Elektronik
Transaksi Elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UUITE adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”,
dengan demikian transaksi elektronik pada dasarnya tidak beda dengan transaksi
pada umumnya, hanya saja yang dijadikan sarana transaksi adalah komputer atau
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lain, dimana hal ini berbeda
dengan transaksi pada umumnya yang mempertemukan secara langsung antara
pihak-pihak atau melalui kuasa para pihak.
Salah satu bentuk penggunaan teknologi internet yang aktual
adalah Electronic Commerse (E Commerce) atau kontrak komersial
elektronik. Sebelum dikenal E-Commerce,
terlebih dahulu dikenal Electronik Data Interchange
(EDI) yaitu jaringan data kepabeanan, yang dipergunakan oleh aparat bea &
cukai yang penggunaannya mampu memproses surat menyurat serta proses birokrasi
manusia dalam ekspor impor secara elektronik diberbagai negara. Operasional EDI dirasa sangat rumit dan
memerlukan kecanggihan peralatan serta
infrastruktur agar bisa berhubungan antara satu dengan lainnya. Karena itu EDI
hanya dipergunakan secara amat terbatas oleh instansi-instamsi resmi yang mampu
membiayai operasional sistem EDI.
Transaksi menggunakan sarana komputer atau melalui jaringan
Komputer lebih dikenal dengan menggunakan sarana internet lebih dikenal dengan E-Commerce. E-Commerce adalah suatu kontrak transaksi perdagangan antara
penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Transaksi dengan
menggunakan sarana internete-commerce
yang tidak mempertemukan secara langsung antara penjual dengan pembeli,
tentunya pembayarannya pun tidak dilakukan secara langsung. Pembayaran transaksi E-Commerce yang menggunakan charge card atau credit card, menimbulkan suatu permasalahan
hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card / credit card
merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang.
Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab
atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge
card / credit card miliknya
dengan berbagai alasan
E Commerce berdasarkan definisinya adalah
perdagangan yang ber-basis elektronik di mana perdagangan yang dilakukan
melalui fax-pun dapat dikategorikan ke dalam E Commerce. Namun dalam pengertian yang lebih umum diterima
masyarakat, E Commerce merupakan
perdagangan yang dilakukan melalui internet. E Commerce cara operasionalnya menggunakan komputer dan jaringannya
untuk menggantikan proses fisik dan otak manusia untuk memutuskan bagi
keperluan komersial, bisnis dan perdagangan. Sehingga E Commerce mempunyai kemungkinan aplikasi di bidang-bidang
pemasaran (marketing), spesifikasi dan pencarian (specyfying & searching), negosiasi, perjanjian dan kesepakatan
(dealing), pembayaran (settling) serta dukungan (supporting). Digunakannya jaringan E Commerce inilah, semua
permasalahan-permasalahan yang menyangkut Electronic Business, Electronic Consumer,
dan Global Information Infrastructure
dapat dihadapi oleh penjual dan pembeli tanpa harus mempertemukan kedua belah
pihak, sehingga keberadaan E Commerce
merupakan jembatan penghubung antara penjual dengan pembeli meliputi antar
negara.
Segala data, informasi, atau
catatan elektronik yang berkaitan dengan dua orang atau lebih yang memiliki
akibat hukum merupakan pendukung suatu transaksi elektronik.
Transaksi Elektronik
Commerce (e-commerce) pada dasarnya merupakan suatu
perjanjian dalam bentuk elektronik.
Apabila transaksi e-commerce tersebut
hanya dibuat oleh salah satu pihak saja dan pihak lain menyetujuinya, maka
dapat dianggap sebagai perjanjian, artinya perjanjian yang ditandatangani oleh
salah satu pihak tetapi berakibat pada pihak lainnya.
Cyber Notary Dalam Sudut Pandangan
Hukum Indonesia
Permasalahan yang sering
muncul dalam perbincangan tentang cyber notary ini adalah akta-akta yang
bagaimana yang dimungkinkan dan yang bagaimana tidak dimungkinkan untuk dibuat
dalam bentuk cyber notary.
Namun
demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka makin terbuka kemungkinan untuk melakukan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan sarana media elektronik dalam Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), serta dijadikannya
informasi elektronik/dokumen elektronik/cetakannya sebagai alat bukti yang sah
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi
Rlrktronik (UUITE) sehingga akan mengarahkan berkembangna cyber notary dalam
dunia pembuatan akta oleh notaris.
Dalam hukum pembuktian
akta merupakan salah satu bagian dari alat bukti tertulis, karena alat bukti
tertulis dibagi atas dua, yaitu akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta,
sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di
bawah tangan.
Tidak semua akta atau
kontrak tertulis merupakan akta notaris (akta autentik), karena seseorang yang
melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di
bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang
dibuat oleh para pihak, tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta
seperti; notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta di
bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta
autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang,
dan salah satu pihak yang berwenang ini adalah notaris.
Pengertian akta autentik
di atas, sejalan dengan pengertian akta notaris berdasarkan Pasal 1 Angka (7)
UUJN, yaitu akta notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini (UUJN).
Berdasarkan pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa secara garis besar akta notaris terdiri atas
dua, yaitu akta yang dibuat oleh notaris dan akta yang dibuat di hadapan
notaris atau yang biasa disebut akta para pihak. Di samping itu, akta notaris
juga dapat dibuat baik karena perintah undang-undang maupun karena kehendak
para pihak.
Perbedaan prinsip antara
akta di bawah tangan dan akta autentik adalah karena jika pihak lawan
mengingkari akta tersebut maka akta di bawah tangan selalu dianggap palsu
sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap
asli kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan
disangkali oleh pihak lain maka pemegang akta di bawah tangan (diuntungkan oleh
akta di bawah tangan tersebut) dibebani untuk membuktikan keaslian akta
tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali, maka pemegang akta
autentik (yang diuntungkan oleh akta autentik tersebut) tidak perlu membuktikan
keaslian autentik tersebut tapi pihak yang menyangkalilah yang harus
membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu,
pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan
pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.
Kekuatan pembuktian yang
dimiliki oleh akta autentik (termasuk akta notaris) tentunya jika akta tersebut
dibuat dengan prosedur dan isi sebagaimana mestinya, karena akta autentik tidak
boleh dilepaskan dari prosedur dan isi akta tersebut. Pada dasarnya suatu akta
otentik merupakan akta dibawah tangan yang dengan prosedur tertentu akan
berubah menjadi akta autentik, dan sebaliknya akta yang seharusnya merupakan
akta autentik tapi karena prosedurnya keliru, maka akta tersebut kembali
menjadi akta dibawah tangan. Dengan demikian, masalah autentik atatu tidaknya
suatu akta digantungkan pada prosedurnya sebagai bagian dari hukum perdata
formal, sedangkan tentang isinya merupakan bagian dari hukum perdata materil.
Cyber Notary belum
didukung oleh perundang-undangan di Indonesia, walaupun terdapat kemungkinan-kemungkinan
yang dibuka oleh undang-undang tertentu tapi tidak dapat dijalankan karena
dibatasi oleh undang-undang lain, sehingga Cyber Notary belum dapat
dilaksanakan secara sah di Indonesia.
Undang-undang PT yang
memungkinkannya diadakannya RUPS dengan menggunakan media elektronik, tidak
mengenyampingkan pembuatan akta notaris secara konvensional jika RUPS tersebut
akan dibuatkan akta notaris, karena tidak semua RUPS harus dibuatkan berita
acara dengan akta notaris, sebab dalam UUPT sendiri mengatur bahwa hanya RUPS
yang dapat mengadakan perubahan Anggaran Dasar yang wajib dibuatkan Akta
Notaris.
Undang-undang ITE juga
hanya menerima informasi elektronik dan/atau dokumen dan/atau hasil cetaknya
sebagai alat bukti hokum yang sah sepanjang tidak mengenal surat yang harus
dibuat secara tertulis/notaril.
Dengan demikian, apabila
cyber notary mau dilaksanakan secara sah di Indonesia, maka seharusnya
dilakukan perubahan terhadap UUJN beserta peraturan perundang-undangan terkait,
karena dengan hanya mengubah UUJN tanpa mengubah peraturan perundang-undangan
terkait, maka kemungkinan besar UUJN tersebut tidak relevan.
Kendala-Kendala Dalam Pembuktian Akta
Secara Elektronik
Secara umum, ketika
diadakan indentifikasi permasalahan e-commerce,
permasalahan-permasalahan atau kendala-kendala dalam hal pembuktian dapat
dikatagorikan kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1.
Kelompok
pertama adalah kelompok permasalahan-permasalahan yang bersifat substantif,
meliputi :
a.
Keaslian
data message dan tanda tangan
elektronik (authenticity) ;
Pada sistem jaringan yang
menggunakan TPC (Transmission Control
Protokol) atau IP (Internet Protokol),
peralatan dasar yang digunakan untuk memverifikasi identitas user adalah password, tetapi password dapat diduga atau diintersepsi. Alamat internet
protokol (IP) dapat dipalsukan atau disadap oleh para hacker sehingga tidak
bisa lagi menjamin keaslian data
message. Seorang hacker bisa saja
mengirim message atas nama orang lain
dengan menggunakan password orang
lain itu atau menggunakan address-nya.
Masalah keotentikkan data message ini
menjadi permasalahan yang sangat vital dalam e-commerce, karena data
message inilah yang dijadikan dasar utama terciptanya suatu kontrak, baik
hubungannya dengan kesepakatan mengenai ketentuan-ketentuan dan persayaratan kontrak
ataupun substansi kesepakatan itu sendiri.
Dengan demikian, hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah keabsahan
(validity) kontrak, keamanan (security) dan juga kerahasiaan dokumen (privacy). Sebagai wujud solusi permasalahan diatas,
selama ini dimunculkan beberapa alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan
kepastian terhadap data message,
yaitu kriptografi (cryptography) dan
tanda tangan elektronik (digital
signature). Dua teknik tersebut selama ini dianggap pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah
memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama bahkan lebih
baik dari pada dokumen kertas. Kriptografi
merupakan sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengontentikkan data yang
terdiri dari dua proses, yaitu enskripsi (encryption)
dan deskripsi (descryption).
Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca
oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi
atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi yaitu
menjadikan teks informasi dapat dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki
wewenang. Kriptografi konvensional
biasanya menggunakan pasangan kunci tertentu untuk melakukan enskripsi dan
deskripsi itu, dalam setiap proses kriptografi memiliki 3 (tiga) bagian dasar,
yaitu:
1)
Plaintext----message asli dalam bentuk yang bisa dibaca;
2)
Ciphertext----message plaintext setelah enskripsi menjadi tulisan yang tidak
terbaca ;
3)
Encryption algorithm----formula matematis yang digunakan
untuk mengenskripsi data message. Kunci yang berbeda akan melahirkan ciphertext yang berbeda ketika digunakan
dengan menggunakan algoritma yang sama.
b.
Keabsahan
(validity) ;
Masalah substansial lain
dalam e-commerce ini adalah masalah
keabsahan penggunaan data message dalam
pembuatan kontrak dan sekaligus menimbulkan permasalahan mengenai keabsahan
kontrak itu sendiri. Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan
syarat-syarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak kontrak telah terpenuhi,
maka hal yang diutamakan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara
kedua belah pihak, maka kontrak dinyatakan sah terjadi. Namun dalam e-commerce, terjadinya suatu kesepakatan atau perjanjian sangat erat
hubungannya dengan penerimaan atas keabsahan dan otentiknya data message yang memuat kesepakatan
tersebut. Berkenaan dengan hal ini, maka
UNCITRAL Model Law yang menjadi
rujukan pembuatan undang-undang dan hukum e-commerce
di seluruh dunia menyatakan pada pasal 5, bahwa sebuah informasi, efek,
validitas atau keberdayaan hukumnya, tidak dapat ditolak semata-mata atas dasar
karena dalam hal ini berbentuk data
message.
Pasal 5 UNCITRAL Model Law tersebut secara tegas
menolak keraguan atas keabsahan data
message sebagai dasar dari sebuah kesepakatan atau perjanjian. Data message yang dimaksud adalah data message yang keotentikkannya telah
dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik atau instrument yang
terpercaya. Pernyataan UNCITRAL atas keabsahan on-line contract ini memiliki pengaruh
sebagai consideration bagi negara-negara yang mengatur masalah e-commerce.
c.
Kerahasiaan
(privacy/confidentiality);
Kerahasiaan yang dimaksud
meliputi kerahasiaan data atau informasi serta perlindungan terhadap data dan
informasi dari akses yang tidak sah dan berwenang. Untuk e-commerce,
masalah kerahasiaan ini merupakan permasalahan yang sangat penting dalam
hubungan dengan proteksi terhadap data keuangan suatu perusahaan atau
organisasi, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta
informasi lainnya yang bersifat rahasia.
Informasi yang berhubungan dengan waktu dan daftar harga untuk jangka
waktu tertentu merupakan suatu hal yang bersifat rahasia dan harus dilindungi.
Permasalahan kerahasiaan ini sangat penting untuk kelanjutan dari perkembangan
(sustainable development) e-commerce, oleh karena itu diperlukan
suatu solusi yang tepat. Kegagalan untuk memberikan proteksi kepada kerahasiaan
semacam ini dapat menimbulkan terjadinya suatu dispute yang berujung kepada tuntutan ganti rugi dan lain
sebagainya.
d.
Keamanan
(security);
Masalah keamanan
merupakan suatu masalah yang tidak kalah pentingnya dengan masalah-masalah
lainnya karena keamanan akan menciptakan rasa confidence bagi para user
dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik bagi kepentingan
bisnisnya. Kepercayaan semacam ini akan
terjadi apabila adanya suatu jaminan dan tidak adanya pihak yang tidak
bertanggung jawab dalam proses perdagangan elektronik yang dilakukan dan pada
akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan (error)
pada sistem atau data atau dengan cara membuka dan menyebar luaskan kerahasiaan
yang seharusnya disimpan secara aman.
e.
Availibilitas
(availability).
Di samping permasalahan
yang telah disebutkan diatas, permasalahan lain yang juga harus diperhatikan
adalah keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik
dan harus tersedia setiap kali dibutuhkan. Masalah ini erat hubungannya dengan
sistem pengamanan dan kekokohan sistem yang dapat memproteksi dan mencegah
terjadinya kesalahan atau hambatan pada jaringan, baik kesalahan itu bersifat
teknis, jaringan ataupun kesalahan profesional. Disamping itu, karena e-commerce tidak mengharuskan adanya pertemuan fisik atau
tatap muka antara para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak e-commerce, maka timbul permasalahan
lain yaitu masalah keberadaan barang yang diperjualbelikan secara
elektronik. Hal ini sangat berkaitan
dengan trust (kepercayaan) dan good faith (itikad baik) dari para
pihak. Masalah terakhir adalah masalah personal, hal ini menjadi permasalahan
yang bersifat substansial karena sangat erat kaitannya dengan penyelesaian
kontrak itu sendiri. Permasalahan
lainnya yang masih berhubungan dengan availability
adalah masalah availability data,
dimana informasi yang disimpan dan ditransmisikan melalui lalu lintas jaringan
itu harus available (bisa diperoleh)
kapan saja dibutuhkan, sehingga harus ada suatu cara yang bisa mengatasi
kemungkinan terjadinya error
(kesalahan) baik yang disebabkan karena rusaknya program ataupun karena
masuknya virus ke dalam sistem komputer.
2.
Kelompok
permasalahan-permasalahan yang bersifat prosedural, meliputi :
a.
Yurisdiksi
atau forum (jurisdiction);
Yurisdiksi atau forum
merupakan kekuasaan pengadilan untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Masalah
yurisdiksi ini sangat kompleks, rumit, krusial dan urgen dalam e-commerce karena setiap putusan
pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal
incasu pihak-pihak, dinyatakan batal demi hukum (null and void). Menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yurisdiksi menjadi relevan ketika pengadilan mencoba mempergunakan
kekuasaannya terhadap setiap orang yang bukan penduduk atau tidak bertempat
tinggal dalam batas-batas negara dari wilayah kekuasaan pengadilan, bahkan
pengadilan tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali
negara mengadakan hubungan ekstradisi, maka para pihak yang melakukan kontrak
antar negara yang mempunyai hubungan ekstradisi tersebut dapat menggunakan
pilihan hukum atau menentukan hukum yang akan digunakan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa dalam penentuan yurisdiksi perlu memperhatikan beberapa hal
yaitu: lokasi para pihak; objek, barang atau jasa; kehadiran (presence) para kontraktan. Selanjutnya
terhadap negara yang ikut serta dalam konvensi biasanya diberlakukan peraturan mandatory (pelimpahan wewenang),
sedangkan terhadap badan hukum atau perusahaan maka penentuan forumnya adalah
domisili perusahaan. Pada konsepsi mengenai alternatif pilihan (opsi), dimana
penggugat memilih yurisdiksi berdasarkan hal-hal berikut:
1)
Lex loci contraktus, yaitu tempat dimana kontrak
tersebut dilakukan oleh para pihak ;
2)
Lex loci delictionis, yaitu tempat dimana para pihak
telah melakukan suatu perbuatan hukum atau pelanggaran dan mengakibatkan
terjadinya akibat dari perbuatan hukum tersebut ;
3)
Terhadap
delicti yang terjadi yaitu
berdasarkan dua tempat yang terjadi maka penggugat dapat memilih salah satu
forum ;
4)
Terhadap
cabang perusahaan maka pilihan forum pada lokasi atau tempat cabang ;
5)
Terhadap
dua tergugat, maka penggugat boleh memilih salah satunya ;
6)
Terhadap
yurisdiksi khusus/ekslusif ;
7)
Yurisdiksi
menurut konvensi dimana terdapat klausula;
8)
Terhadap
konsumen, diberlakukan forum konsumen ;
9)
Terhadap
tender pekerja dimana terdapat klausula dalam e-commerce, diperhatikan bukti-bukti komputer.
Dalam Hukum Perdata
Internasional (HPI) dikatakan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi terhadap
seseorang apabila pengadilan tersebut memiliki wewenang untuk mengadili
persengketaan yang melibatkan para pihak dalam membuat suatu perjanjian atau
kontrak serta memberikan putusan yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
Jadi, yurisdiksi pengadilan didasarkan atas batas-batas teritorial dari
negara-negara atau pemerintahan yang diwakili oleh pengadilan yang
bersangkutan. Pada akhirnya, masalah yurisdiksi ini erat kaitannya dengan
masalah hukum yang akan diterapkan pada kasus yang terjadi, yang dalam istilah
hukum disebut dengan choice of law atau
applicable law (hukum yang dapat
diterapkan).
b.
Hukum
yang diterapkan (applicable law) ;
HPI (Hukum Perdata
Internasional) mengatur pilihan hukum dalam perkara-perkara internasional. Pada
prinsipnya bentuk dan pengaruh suatu kontrak ditentukan oleh pilihan hukum para
pihak. Apabila perjanjian yang dibuat
oleh para pihak tidak jelas maka perjanjian diatur oleh hukum, tempat dimana
perbuatan itu dilakukan atau terjadi. Dalam kaitan dengan e-commerce, timbul suatu masalah yaitu mengenai gambaran hukum
penawaran dalam internet. Dikatakan bahwa pada umumnya penawaran tercantum
dalam homepage (situs), sehingga
ketika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban dari para
pihak yang membuat kontrak dapat ditentukan oleh hukum yang berlaku dari suatu
negara salah satu pihak, dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan hukum yang
memiliki signifikasi terdekat dengan masalah dari para pihak. Hukum yang
diterapkan, disesuaikan dengan kehendak para pihak yang membuat perjanjian,
pengadilan pertama-tama melihat isi dari kontrak tersebut khususnya klausula
tentang pilihan hukum, apabila ada, maka kemudian pengadilan mengadakan dugaan
hukum dengan melibatkan istilah-istilah yang digunakan dalam perjanjian dan
keadaan sekitarnya dengan memperhatikan petunjuk dan semua unsur-unsur obyektif
dan subyektif dalam kontrak yang bersangkutan untuk mengetahui dan menentukan
pilihan hukum.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hukum perdata di Indonesia, kontrak atau perjanjian diatur dalam buku III
KUH-Perdata tentang perikatan. Secara umum kontrak terjadi karena adanya suatu
kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan itu diwujudkan dalam suatu
perjanjian yang menjadi dasar perikatan bagi pihak-pihak tersebut. Aspek hukum
perjanjian atau kontrak elektronik (e-commerce)
dapat memiliki kekuatan hukum berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata tentang kebebasan berkontrak. Asas konsensualitas
yang tersirat dalam Pasal 1320 KUH-Perdata dapat dijadikan dasar kekuatan
hukum adanya kontrak elektronik, segala sesuatu yang telah disepakati oleh para
pihak dalam kontrak elektronik (e-commerce)
menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak.
Aspek
hukum pembuktian berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia dapat diterapkan terhadap kontrak
elektronik, walaupun hanya dianggap sebagai alat bukti tertulis dan bukan akta,
tetapi berupa tulisan biasa saja dan atau sebagai persangkaan sesuai dengan
hukum acara perdata Pasal 164 Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan juga ketentuan yang terdapat dalam
UU ITE.
Upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak apabila terjadi sengketa, dalam hal
ini mengenai pembuktian kontrak elektronik, maka hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, seperti merujuk kepada UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, kegiatan e-commerce
yang diatur dalam UNCITRAL Model Law
on Electronic Commerce, dapat digunakan sebagai pegangan atau kepastian
hukum dalam transaksi perdagangan internasional. UNCITRAL
Model Law on Electronic Commerce, secara eksplisit memberikan nilai legal (sah) yang sama kepada transmisi
elektronik seperti halnya bentuk tertulis.
Penyamaan nilai legal antara transmisi elektronik dengan bentuk tertulis
ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian yang juga diatur dalam ketentuan
yang terdapat dalam UU ITE.
Untuk
mengantisipasi lalu lintas perdagangan yang mempergunakan teknologi informasi,
pihak yang berwenang diharapkan secepatnya membentuk peraturan perundang-undangan
mengenai akta secara elektronik terutama sekali dalam e-commerce sehingga dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.
Budi Rahardjo; Pernak
Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia;
www.budi.insan.co.id
Didik M ARif Mansur dan Elisatris Gultom; Cyberlaw, Aspek Hukum Teknologi Informasi;
Cetakan I, Bandung; PT. Refika Aditama; 2005; h. 4
Agus Raharjo; Cybercrime
: Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi; Cetakan I, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti;
2002; h. 1
Subekti , Hukum Perjanjian, PT. Intermasa,
2005, hal 1
Subekti, Op. Cit., hal 17
Evi Retnowulan, SH., MHum dan Regina Hernani;
TINJAUAN HUKUM JUAL BELI SECARA ONLINE; Makalah Pada Fakultas Hukum Narotama Surabaya; h.1
Evi Retnowulan SH, Mhum;
Op.Cit; h.2