Pembatalan perkawinan
mempunyai dasar hukum yang tegas dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Suatu perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Barangsiapa karena
perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 4
Selain dari undang-undang
pembatalan perkawinan di dasari juga dengan hukum islam yang termuat di dalam
kompilasi hukum islam. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya
perkawinan pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.
Batalnya suatu perkawinan
dapat terjadi baik ketika akad perkawinan dilakukan ataupun setelah terjadinya
perkawinan yang kemudian para pihak mengajukan pembatalan terhadapnya.
Sebagaimana yang telah di atur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 70 mengenai
perkawinan batal apabila :
1.
Suami melakukan perkawinan, sedang ia
tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri,
sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i
2.
Seseorang menikahi bekas isterinya yang
telah diliannya.
3.
Seseorang menikahi bekas isterinya yang
pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut
pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul
dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4.
Isteri adalah saudara kandung atau sebagai
bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Permohonan pembatalan
perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. Dan batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, seperti yang dijelaskan dalam
kompilasi hukum Islam Pasal 74 ditentukan sebagai berikut :
1.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat
diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau
isteri atau tempat perkawinan.
2.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
saat berlangsungnya perkawinan.
NOOR AUFA, SH, CLA
aufa.lawyer@gmail.com
www.konsultanhukumindonesia.blogspot.com
NOOR AUFA, SH, CLA
aufa.lawyer@gmail.com
www.konsultanhukumindonesia.blogspot.com