Thursday 26 October 2017

LEPAS DARI TEROR KARTU KREDIT

Bagi anda yang saat ini pusing dengan masalah tagihan kartu kredit, capek ditagih-tagih plus dengan teror debt colector saat ini Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas lembaga mediasi perbankan.


Lembaga Mediasi Perbankan ini telah disosialisasikan melalui Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 sehingga dengan demikian Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah, dan cepat dalam hal penyelesaian pengaduan nasabah oleh Bank belum dapat memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Pengajuan penyelesaian sengketa dimaksud dapat disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan persyaratan sebagai berikut :
  1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi      keuangan.
  2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank.
  3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
  4. Nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan jumlah maksimal adalah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaiannya Sengketa.
  5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank
  6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir terlampir atau dibuat sendiri oleh Nasabah dan dilengkapi dokumen pendukung antara lain:
    1. Foto copy surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank kepada Nasabah.
    2. Foto copy bukti identitas Nasabah yang masih berlaku.
    3. Surat penyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
    4. Foto copy dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang diajukan
    5. Foto copy surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa dikuasakan.
  7. Formulir yang telah diisi dan dilengkapi dokumen pendukung disampaikan kepada :
            Bank Indonesia
           Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
            Menara Radius Prawiro lantai 19
            Jalan MH Thamrin No. 2
            Jakarta 10110


Semoga Bermanfaat.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate - Legal Consultant - Mediator - Legal Audirot
+6282233868677
www.pengacarariau.com 





Wednesday 25 October 2017

UPAYA HUKUM KENDARAAN DITARIK LEASING


PERTANYAAN:

Pengasuh rubrik konsultasi hukum yang terhormat. Izinkan kami mengajukan pertanyaan sehubungan permasalahan kredit mobil kami pada salah satu lembaga pembiayaan. Kami menerima pembiayaan atas 1 (satu) unit kendaraan bekas dari salah satu lembaga pembiayaan yang ada di ……… dengan cara jaminan fidusia dan dengan angsuran selama 24 (dua puluh empat) kali angsuran yang dimulai sejak September 2014. Tapi, dalam perjalanannya, cicilan yang seharusnya kami laksanakan pada pertengahan tahun 2015 tidak berjalan sebagaimana mestinya dan beberapa kali terjadi tunggakan atas cicilan.
Saat terjadinya tunggakan ini, kemudian kami didatangi oleh 5 (lima) orang yang mengaku sebagai collector dari pihak lembaga pembiayaan dan berusaha mengambil serta menarik unit kendaraan t ersebut secara paksa bahkan dengan melakukan intimidasi serta ancaman kepada kami. Saat berada di lokasi perumahan, pihak yang mengaku collector tersebut juga menyampaikan kepada Ketua RT dan beberapa orang di lingkungan perumahan status kendaraan kami adalah kredit dan terjadi tunggakan serta kami tidak sanggup bayar.
Kemudian kami dipaksa untuk mengikuti kehendak collector tersebut agar membawa kendaraan ke salah satu Polsek di ………… serta kami dipaksa menitipkan kendaraan tersebut di Polsek dimaksud dengan memaksa kami membuat surat pernyataan agar melakukan keseluruhan pelunasan kredit kendaraan tersebut meskipun jangka waktu pelunasan belum sampai akhir, dan untuk saaat ini kami sudah melakukan pembayaran atas tunggakan berikut dengan denda yang seharusnya kami bayarkan kepada lembaga pembiayaan hingga bulan September 2015.
 Apa yang seharusnya kami lakukan, untuk mengembalikan hak-hak hukum kami?
Mohon penjelasannya
Terimah kasih
 DM (……………..)


JAWABAN:

Saudara DM yang kami hormati, terima kasih sebelumnya telah atas pertanyaan yang anda ajukan kepada kami.

Membaca permasalahan yang sekarang Saudara hadapi, maka berikut hal-hal yang terkait dengan jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UU No 42/1999 tentang Jaminan Fidusia :
Pertama: perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai UU yang mengaturnya.
Kedua; perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada KPF paling lama 30 hari kalender terhitung sejak tanggak perjanjian pembiayaan konsumen dilakukan.
Ketiga: perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor jika KPF belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.
Keempat: penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam UU mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor, dan apabila hal ini dilanggar oleh perusahaan pembiayaan maka perusahaan pembiayaan bisa dikenakan sanksi berupa sanksi administrative secara bertahap mulai dari peringatan, pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha yang dimilikinya.

“Penarikan” sering sekali terjadi di dalam praktek. Karena hal tersebut seringnya memberikan dampak negative berupa bantahan, ataupun perlawanan di lapangan, maka Untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia, POLRI menerbitkan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011 yang berlaku sejak 22 Juni 2011. 
Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
(1)   ada permintaan dari pemohon;
(2)   objek tersebut memiliki akta jaminan fidusia;
(3)   objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
(4)   objek jaminan fidusia memiliki setifikat jaminan fidusia;
(5)   jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.

Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, dimana permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.
Untuk pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus melampirkan:
1)      Salinan akta jaminan fidusia;
2)      Salinan sertifikat jaminan fidusia;
3)      Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam hal ini telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan tanda terima;
4)      Identitas pelaksana eksekusi;
5)      Surat tugas pelaksanaan eksekusi.

Jadi, berangkat dari hal tersebut diatas, seharusnya pihak lembaga pembiayaan tidak dapat melakukan eksekusi atas kendaraan yang dijadikan sebagai jaminan fidusia tanpa melibatkan kepolisian sebagaimana diatur dalam Perkap No. 8 Tahun 2011 dan apabila hal ini dilakukan oleh pihak lembaga pembiayaan serta dengan menggunakan pihak ketiga lainnya sebagai collector, anda bisa melaporkan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan baik oleh lembaga pembiayaan maupun oleh collector tersebut apabila diduga ada unsur perbuatan pidana, selain tentunya anda juga bisa menggugat lembaga pembiayaan tersebut secara perdata melalui gugatan perbuatan melawan hukum.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Noor Aufa; Advocates – Legal Consultants – Mediator
+6282233868677

Tuesday 24 October 2017

KESESATAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENIPUAN dan/atau PENGGELAPAN


Dalam praktek kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat sudah sangat biasa melakukan berbagai perbuatan terkait dengan lapangan hukum perdata seperti pinjam meminjam atau jual beli. Hal ini memberikan implikasi yang cukup kuat dalam berjalannya proses bisnis atau kegiatan yang dilakukan masyarakat. Namun demikian, bukan tidak mungkin dalam perjalanannya terjadi kemacetan pembayaran proses pinjam meminjam atau jual beli ini. Hal ini tentunya mengakibatkan kerugian pada pihak yang memberikan pinjaman atau pihak penjual maupun pembeli yang dalam istilah hukum dikenal dengan wan prestasi.

Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam suatu perjanjian. Hak dan kewajiban timbul karena adanya perikatan dalam perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Tapi kemudian, pada praktek di lapangan cenderung penyelesaian hal ini diarahkan pada ranah hukum pidana, baik itu dikualifikasikan sebagai Penipuan atau Penggelapan (Pasal 378 atau Pasal 372 KUHP) oleh lembaga Penyidik Kepolisian yang kemudian mengarah pada penuntutan di Pengadilan oleh Kejaksaan. Bahkan parahnya, hal ini dilakukan dengan melakukan upaya paksa berupa penahanan yang telah merampas hak-hak kemanusiaan.

Wajarkah memasukkan kualifikasi hukum keperdataan ke ranah hukum pidana?

Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan-hubungan hukum dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian akan menimbulkan beberapa perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Sehingga akibat hukum yang timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan domain dari hukum privat. Berbeda halnya dengan hukum pidana dimana setiap kewajiban yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh penguasa dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, dalam lapangan hukum pidana yang dikenal dengan rumusan delik sering kita menjumpai istilah ”melawan hukum” yang sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah ”wederrechtijkheid”. dalam Bahasa Belanda. Sifat melawan hukum harus selalu ada di dalam setiap tindak pidana, baik dicantumkan secara tegas sebagai unsur tindak pidana seperti pada Pasal 362, 372, dan 378 KUHP, maupun dianggap selalu termuat dalam setiap rumusan tindak pidana. Wederrechtijkheid diterjemahkan beberapa sarjana secara berbeda-beda dan tidak ada keseragaman pendapat. Diantara beberapa batasan yang berkembang antara lain, menurut Simon kata ”recht” dalam wederrechtelijk diterjemahkan sebagai ”hukum”. Perbuatan yang mengandung wederrechtelijk tidak perlu melawan hak orang lain, namun sudah cukup apabila perbuatan itu melawan ”objectief recht”. Noyon mengartikan ”recht” itu sebagai hak (subjectief recht), sedangkan H.R. dalam Putusannya tertanggal 18 Desember 1911 W. No. 9263 ”recht” ditafsirkan sebagai hak atau kekuasaan dan wederrechtelijk berarti tanpa kekuasaan atau tanpa hak.

Dari beberapa teori pada umumnya menyebutkan sifat melawan hukum tindak pidana ditujukan pada suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum, sedangkan hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam artian formil maupun materiil. Pengertian hukum yang bersifat umum adalah hukum yang mengatur dan mengikat kehidupan masyarakat secara umum. Selanjutnya Noyon mengatakan bahwa Zonder recht (tanpa hak) itu adalah berbeda dengan tegen het recht (melawan hukum) dan perkataan wederrechtelijk itu dengan tidak dapat disangkal lagi menunjuk pada pengertian yang terakhir. Sedangkan terminologi wederechtelijkheid dalam kaitannya sebagai bentuk ”melawan hak” adalah semata-mata merujuk pada hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari hubungan kontraktual.

Berangkat dari hal tersebut, kita akan bandingkan”melawan hukum” dalam tindak pidana dengan ”melawan perikatan” dari hubungan kontraktual. Sifat melawan hukum melekat pada suatu perbuatan sehingga perbuatan itu dapat dipidana, baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang lain, namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula dilarang peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ”melawan perikatan” melekat pada perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian, dimana Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan”semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat ”sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”? Jika kita simak makna dari kalimat diatas, maka sesungguhnya pembentuk undang-undang ingin memberikan kekuatan mengikat yang sama antara perjanjian yang dibuat secara sah dengan undang-undang yang dibuat penguasa, namun perlu diperhatikan bahwa kedudukan tersebut hanya ditujukan bagi para pihak yang membuat perjanjian, artinya meskipun perjanjian dipersamakan daya mengikatnya dengan undang-undang bukan berarti perjanjian memiliki kedudukan seperti undang-undang yang berlaku secara umum. Makna dari ”kekuatan mengikatnya sebagaimana undang-undang” semata-mata terletak pada hak menuntut pemenuhan prestasi dan ganti kerugian dihadapan pengadilan seperti halnya jika orang melanggar undang-undang.

Secara umum ”melawan hukum” dengan ”melawan perikatan” memiliki perbedaan antara lain:
ü  Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan atau perbuatan yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan melawan perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya.
ü  Suatu tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanya perbuatan tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan perikatan yang oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, denda maupun bunga.
ü  Sifat melawan hukum melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan hukum yang dibuat oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.

Dalam memahami wanprestasi dan tindak pidana penipuan kita sering tersesat dalam menafsirkan unsur ”tipu muslihat” dan ”serangkaian kebohongan” dalam Pasal 378 KUHP dengan pengertian ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual, sepintas memang seperti sama, namun jika kita telaah secara lebih mendalam, maka akan muncul beberapa perbedaan yang sangat prinsip yang bisa menjadi indikator untuk membedakan antara delik penipuan dengan wanprestasi. Diakitkan dengan tindak pidana penggelapan dalam Pasal 372 KUHP kita sering tersesat akan makna “melawan hukum” dengan “melawan perikatan”.


Berdasarkan penelaahan di atas, jelas sifat melawan hukum dalam tindak pidana memiliki karakteristik berbeda dengan sifat melawan perikatan dalam perjanjian, sehingga di antara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran proses penyelesaian terhadap dua karakteristik pelanggaran hukum tersebut. Setiap penegakan hukum yang telah membawa suatu perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban dalam hukum perikatan ke dalam ranah hukum pidana (delik penipuan atau pun delik penggelapan) merupakan suatu pelanggaran prosedur (undue process) dan bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku. Hal ini tentunya akan mengakibatkan apa yang sering dikhawwatirkan para ahli hukum mengenai Miscarriage of Justice (kegagalan penegakan hukum).

NOOR AUFA,SH,CLA
Phone/WA : +6282233868677

PEMALSUAN SURAT DALAM HUKUM INDONESIA

Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Berbagai jenis tindak pidana telah terangkum cukup banyak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan dari jajahan Belanda, dimana dulunya dikenal dengan istilah Wetbook Van Straftrecht (WvS). Setelah Indonesia merdeka, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini, WvS dijadikan sebagai peraturan pidana yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan diubah dengan nama KUHP.

Hasil gambar untuk surat palsu

Salah satu jenis kejahatan yang dikenal dalam KUHP adalah kejahatan pemalsuan surat, dimana awal pembentukan pidana ini bertujuan tujuan melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran suatu surat atau akte otentik.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat dalam ketentuan tersebut adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Selain itu, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
a.       Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dll);
b.      Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dsb);
c.       Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
d.      Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).

Kebenaran pada suatu surat atau akte otentik sendiri sendiri terdiri atas  4 macam , yaitu :
  1. Surat atau akte yang menimbulkan suatu hak;
  2. Surat atau akte yang menerbitkan suatu perikatan;
  3. Surat atau akte yang menimbulkan pembebasan utang; dan
  4. Surat atau akte yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.

Dalam hal surat atau akte ini, maka perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) atau tindakan perbuatan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah suatu perbuatan atau tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.

Unsur perbuatan dan 4 unsur objek surat atau akte tersebut merupakan hal yang bersifat alternative, dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Dalam proses pembuktiannya melalui dan dengan dengan menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada Pasal 183 jo 184 KUHAP.

Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai suatu surat atau akte misalnya Akte Kelahiran, sehingga menghasilkan sebuah Akte Kelahiran. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan dimana lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut (locusnya). Dalam hal ini, semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti oleh seseorang mengenai akte tersebut. Dalam hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis pada suatu perkara yang ditanganinya.

Dalam Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti yang syah tersebut adalah hakim yakin tindak pidana telah terjadi, hakim yakin terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan hakim yakin terdakwa telah bersalah dalam mealakukan tindak pidana tanpa adanya hal-hal yang bisa memaafkan atau menghapuskan pidana.

Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah Akte Kelahiran diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja dan tidak membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 263 KUHP.

Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah Akte Kelahiran selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja. Di dalam sebuah Akte Kelahiran harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Kepala Kantor Catatan Sipil asli, tapi namanya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Kepala Kantor Catatan Sipil atau orang-orang lain?

Menggunakan sebuah surat atau akte adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.

Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti,  jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang bersangkutan tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.

Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi.

R. Soesilo menjelaskan bahwa penggunaan surat palsu itu harus dapat mendatangkan kerugian. Kerugian tersebut tidak hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dsb. Masih menurut R. Soesilo, yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2). “Sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Tentunya terkait dengan tahu atau tidak tahunya pemohon itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan oleh penyidik maupun dalam persidangan.


NOOR AUFA, SH, CLA
Advocate – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor
+6282233868677

KDRT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA


Rumah tangga merupakan komunitas terkecil dari suatu masyarakat. Rumah tangga yang bahagia, aman, dan tentram selalu menjadi dambaan setiap orang. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh prinisp-prinsip agama. Hal ini penting ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan hal tersebut, bergantung pada setiap orang dalam satu lingkup rumah tangga, terutama dalam kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang di lingkup rumah tangga tersebut.

Hasil gambar untuk kdrtKeutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat  terganggu, jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara (state) wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku (vide: Pasal 11 UU No. 23 Tahun 2004).
Perempuan dan jaminan penghapusan KDRT
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan (baca: istri) sering menjadi korban. Pihak perempuan selalu dijadikan subordinat kekerasan karena dianggap sebagai kaum lemah. Penindasan terhadap kaum perempuan, laki-laki (baca: suami) dianggap sebagai wujud superioritas. Budaya “patriarkhi” sebagai budaya yang berpusat pada nilai laki-laki merupakan basis bagi suburnya perilaku bias gender.
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebenarnya merupakan masalah sosial serius namun kurang mendapat tanggapan dalam masyarakat, karena pertama, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup pribadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap wajar dan sah, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu lembaga perkawinan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tujuan dibentuknya undang-undang tersebut adalah memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, memberikan penyadaran  terhadap masyarakat dan aparat pemerintah bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan pelanggaran HAM (in-humanity) dan sesuatu yang haus dihapuskan dalam praktek kehidupan.
Penyebab KDRT   
Tingginya tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh beberapa factor, seperti ;
Pertama,  faktor ekonomi. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah penghasilan suami, sehingga seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang berakibat terjadinya kekerasan fisik. Alasan ekonomi memang pada umumnya menjadi penyebab. Adanya tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami, sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencela sang suami bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah tangga. Bukan karena kurang uang, melainkan berlebih hanya dalam hal ini disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok, maka biasanya berujung pada kekersan fisik.
Kedua, Faktor Perselingkuhan. Selain masalah ekonomi biasanya bukan karena kekurangan tetapi berlebih atau cukup, sehingga selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk membiayai hidup perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung memaki-maki atau memukul istrinya karena untuk menutupi perselingkuhannya.

Penanggulangan KDRT
Adapun langkah-langkah yang dapat di lakukan oleh istri apabila mengalami kekerasan dalam rumah tangga :
Pertama, curhatlah pada orang yang dipercaya. Menceritakan kondisi keluarga pada orang lain, kerabat dekat, sahabat, atau tetangga yang biasa dipercaya pada saat tertentu bukanlah membuka aib. Namun istri yang mengalami kekerasan pasti mengalami tekanan, bahkan mungkin depresi dari curhat pada orang yang dipercaya secara psikologis dapat meringankan beban serta kadangkala dapat menemukan solusi tebaik dari permasalahan yang dihadapi.
Kedua, renungkan saran dan nasihatnya. Curhat berarti membuka kesempatan pada orang yang anda percaya untuk ikut merasakan, memahami sekaligus intervensi. Artinya, jka sang teman memberikan saran maupun alternatif, bukalah mata hati, renungkan saran dan nasihatnya. Ambil segi positifnya.
Ketiga, mintalah suami konseling. Kebiasaan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga tertentu perlu diwaspadai. Secara baik-baik mintalah suami konsultasi dengan pakar dan melakukan terapi, tentu saja harus pandai mencari waktu yang tepat untuk membiarkannya. Keempat, segera mengambil keputusan. Jika suami makin kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka korban berhak untuk mendapatkan perlindungan dari semua pihak baik itu perlindungan dari masyarakat ataupun dari  kelembagan hukum baik formal maupun informal (vide: Pasal 10 UU No.23 Tahun 2004).

Terlepas dari penyebab dan upaya penanggulangan peristiwa KDRT sebagaimana tersebut, terjadinya peningkatan angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga selain disebakan faktor ekonomi dan perselingkuhan, semuanya tetap kembali di tangan komunitas keluarga (suami dan istri) yang sakral itu. Untuk mengerti, mengetahui, dan taat atau tidak taat (obey/ disobey) pada aturan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kejahatan yang diatur dand iancam dijatuhi pidana sebagimana tersebut dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai lex specialis dari KUHP. Dalam system pidana Indonesia asas “iedereen wordt geacht de wet te kennen (semua orang mesti dianggap tahu tentang hukum)” sehingga tidak ada alas an apa pun bagi pelaku tindak pidada KDRT untuk lari dari tanggung jawab atau kewajiban hukum dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.

NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677
Advocate - Legal Consultant - Mediator - Legal Auditor

Monday 23 October 2017

KEKUATAN AKTA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI TRANSAKSI E-COMMERCE

ABSTRACT
Along with the development of globalization, world trade and developing the business world come with the emergence of a business transaction with technology (high-tech improvement). This condition on the one hand brings advantages mainly due to efficiency, but on the other hand brings doubts, especially for legal matters regarding the legal certainty or of legal certainty, the validity of a business transaction, issue a digital signature (digital signature), massage the data, the originality (authenticity) of data , the confidentiality of the document (privacy), the law designated in case of breach of contract (breach of contract), the problem of legal jurisdiction and applicable law (law aplicable) in the event of a dispute, the tax (tax), as well as consumer protection against users (protections of consumers) . This paper aims to raise legal issues regarding the transaction (trade) via electronic media (e-commerce) as well as the legal aspects of proof in transactions via electronic media (e-commerce).

PENDAHULUAN
Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan masyarakatnya. Ironisnya, dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat informasi, seolah masih prematur untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut.
Teknologi informasi dibuat untuk memudahkan para penggunanya dalam mencatat suatu transaksi, menyimpannya dalam bentuk data, mentransformasikannya menjadi informasi dan menyebarkannya kepada para pemakai informasi.  Dalam dunia bisnis teknologi informasi mempunyai dampak besar, misalnya transaksi bisnis yang dicatat secara on-line akan diolah dan pada saat yang hampir bersamaan (real-time) hasil pengolahan atau informasinya dapat dilihat, seperti yang lazim dilakukan para nasabah bank saat melakukan transaksi pada ATM (automated teller machine). Pada saat ini informasi menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan bisnis, dengan dukungan teknologi informasi, informasi semakin mudah diperoleh tanpa dibatasi ruang dan waktu.[1]
Pada awalnya internet hanya dapat digunakan sebagai media pertukaran informasi dilingkungan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian.[2] Baru pada tahun 1995-lah internet mulai terbuka untuk masyarakat luas. Kemudian untuk lebih memudahkan masyarakat mengakses informasi internet, dimana Tim Berners-Lee mengembangkan aplikasi World Wide Web (www).[3]
Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet juga mulai digunakan untuk kepentingan perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yaitu meningkatnya permintaan atas produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan untuk melakukan transaksi perdagangan.[4]
Di Indonesia sendiri, fenomena transaksi dengan menggunakan fasilitas internet e-commerce dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http:// www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum popular, pada tahun 1996 mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit menurun disebabkan krisis ekonomi. Namun sejak tahun 1999 hingga saat ini transaksi e-commerce kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal  teknologi.
Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi adalah jual beli yang dilakukan melalui media elektronik dan dikenal dengan kontrak jual beli secara elektronik. Berdasarkan sumber hukum di Indonesia, kontrak jual beli harus memiliki beberapa klausula-klausula yang tekstual yaitu berbentuk akta atau kontrak secara tertulis, jelas dan nyata, baik berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan kontrak jual beli termasuk hak dan kewajiban dari para pihak dalam kontrak tersebut.
Transaksi melalui web adalah salah satu fasilitas yang sangat mudah dan menarik. Seorang pengusaha, pedagang (vendor) ataupun korporasi dapat mendisplay atau memostingkan iklan atau informasi mengenai produk-produknya melalui sebuah website atau situs, baik melalui situsnya sendiri atau melalui penyedia layanan website komersial lainnya. Jika tertarik, konsumen dapat menghubungi melalui website atau guestbook yang tersedia dalam situs tersebut dan memprosesnya lewat website tersebut dengan menekan tombol ‘accept’, ‘agree’ atau ‘order’. Pembayaran pun dapat segera diajukan melalui penulisan nomor kartu kredit dalam situs tersebut.
Namun di samping beberapa keuntungan yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi.
Ada beberapa hal yang sering muncul dalam kontrak jual beli melalui media elektronik ini yang timbul sebagai suatu kendala seperti kekuatan perjanjian, perpajakan, metode pembayaran, peradilan, perlindungan hukum, tanda tangan elektronik, penyelesaian sengketa yang terbentuk dalam suatu sistem jaringan kerja secara langsung. Masalah-masalah tersebut menimbulkan permasalahan hukum mengenai aspek hukum perjanjian yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian agar memenuhi kepastian hukum, dalam hal ini dokumen berwujud nyata atau tertulis sebagaimana terjadi dalam jual beli secara konvensional. Sementara itu kontrak jual beli secara elektronik dilakukan dalam dunia maya (virtual world), tanpa adanya dokumen nyata yang tertulis seperti akta, baik akta otentik maupun akta bawah tangan, kondisi seperti itu akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan pembuktian apabila terjadi sengketa pada jual beli secara elektronik tersebut.
Untuk itu tulisan ini mencoba mengkaji hal terkait dengan transaksi e commerce dilihar dari sisi pembuktian pada sistem hukum Indonesia. Tulisan akan melihat permasalahan bagaimanakah kekuatan pembuktian akta elektronik dalam transaksi e-commerce di Indonesia? dan bagaimanakah jaminan perlindungan hukum dalam transaksi e-commerce di Indonesia?
Dalam mengkaji hal terkait dengan pembuktian transaksi  e commerce  dilakukan melalui secara deskriptif analitis, dengan melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta berupa data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perjanjian dan kekuatan pembuktian dalam kontrak secara elekronik, bahan hukum sekunder yaitu pendapat ahli hukum terkemuka (doktrin), dan bahan hukum tertier, kamus hukum yaitu sumber lain yang bukan perundang-undangan.
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan empiris yaitu metode pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma. Tahap pendekatan ini dilakukan dengan penafsiran gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah kontrak jual beli secara elektronik, melakukan kontruksi hukum Argumentum A Contrario, yaitu argumentasi kebalikan dari pendapat/sumber yang digunakan dalam melakukan penelitian, melakukan perbandingan hukum karena membahas hubungan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain untuk menjamin kepastian hukum berdasarkan positivisme hukum, bahwa perundang-undangan yang berlaku benar-benar dilaksanakan oleh para penegak hukum dan penguasa.
Dasar Hukum Akta
Perjanjian merupakan bagian terpenting perikatan disamping sumber lainnya. Ketentuan pada Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang” dan Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Para ahli hukum memberikan pengertian tentang perjanjian, selain batasan yang diberikan oleh undang-undang, diantaranya Subekti mengatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[5]
Dalam membuat perjanjian sendiri, harus diperhatikan hal terkait dengan syarat sah perjanjian. Hal yang perlu diperhatikan agar suatu perjanjian dikatakan sah, yaitu harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW) yaitu:
a.      Sepakat mereka yang mengikatkan diri,
b.     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
c.      Suatu hal tertentu,
d.     Suatu sebab yang halal.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (BW), Subekti juga menyatakan sebagai berikut :
“Keempat syarat-syarat itu secara umum dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut juga syarat objektif. Digolongkannya empat syarat pada Pasal 1320 BW itu menjadi dua, karena syarat yang pertama dan kedua mengenai orang-orang yang membuat perjanjian (para pihak dalam suatu perjanjian), sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian yang dilakukan.[6]

Berdasarkan azas konsensualisme, kontrak dianggap ada seketika setelah adanya kata sepakat, dalam hal ini kontrak jual beli dianggap terjadi pada saat kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga. Sifat konsensual dari jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 Burgerlijk Wetboek (BW) yang berbunyi jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
Aspek Hukum Sistem Pembuktian di Indonesia
Mengenai pembuktian selalu akan dipersoalkan apakah sebenarnya yang dapat dibuktikan itu. Beberapa ahli hukum mengatakan yang harus dibuktikan apabila terjadi sengketa hukum adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, seperti adanya hak milik, adanya piutang, hak waris, dan sebagainya, oleh karena itu dalam persidangan hakim harus membuktikan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak.
Legalitas atau keabsahan dari kontrak atau perjanjian khususnya dalam akta elektronik menjadi fenomena yuridis baru bagi hukum positif Indonesia pada umumnya.  Sehingga hal ini perlu dilakukan kajian lanjut terhadap aspek hukum khususnya aspek hukum pembuktian.
Proses pembuktian terhadap peristiwa dapat dilakukan dengan beberapa cara. Menurut Paton dalam bukunya A Textbook Of Jurisprudence disebutkan bahwa, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau materiil, alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan, artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral, alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti yang surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat materiil adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen[7].
Pembuktian merupakan tahap yang menentukan proses perkara, karena dari hasil pembuktian diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Ada 2 (dua) unsur yang memegang peranan penting dalam pembuktian yaitu unsur alat bukti dan peraturan pembuktian.
Dengan diberlakukannya UU ITE,  terdapat pengaturan baru mengenai alat bukti yaitu diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat 2 UU ITE ditentukan bahwa Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, UU ITE telah menentukan bahwa Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan dimuka persidangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan dalam UU ITE. Dengan demikian, penggunaan Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE, yang menentukan bahwa ”.... Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
Ketentuan tersebut dikecualikan, sebagaimana termaksud dalam Pasal 5 ayat 4 UU ITE, yang menentukan ada beberapa jenis Dokumen Elektronik yang tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila terkait dengan pembuatan : Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta Notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam rangka pembuatan perjanjian/transaksi elektronik, keabsahan suatu dokumen elektronik di dalamnya harus memuat sebuah tanda-tangan elektronik (vide pasal 1320 angka (1) B.W.) Sebuah Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 UU ITE,  yaitu :
a.    Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; 
b.   Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c.    Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d.   Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e.    Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
f.    Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah       memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 ayat 2 UU ITE menyebutkan Setiap orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakan.
UU ITE melarang perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 27 sampai dengan Pasal 37, yang menentukan bahwa jika terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan teknologi informasi, terkhusus Dokumen Elektronik, yang merugikan bagi pihak lain, dapat digugat/dituntut baik secara keperdataan maupun kepidanaan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38, Pasal 39,  serta Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 UU ITE.
Proses Akta Elektronik
Transaksi Elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UUITE adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”, dengan demikian transaksi elektronik pada dasarnya tidak beda dengan transaksi pada umumnya, hanya saja yang dijadikan sarana transaksi adalah komputer atau jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lain, dimana hal ini berbeda dengan transaksi pada umumnya yang mempertemukan secara langsung antara pihak-pihak atau melalui kuasa para pihak.
Salah satu bentuk penggunaan teknologi internet yang aktual adalah Electronic Commerse (E Commerce) atau kontrak komersial elektronik. Sebelum dikenal E-Commerce, terlebih dahulu dikenal Electronik Data Interchange (EDI) yaitu jaringan data kepabeanan, yang dipergunakan oleh aparat bea & cukai yang penggunaannya mampu memproses surat menyurat serta proses birokrasi manusia dalam ekspor impor secara elektronik diberbagai negara.  Operasional EDI dirasa sangat rumit dan memerlukan kecanggihan  peralatan serta infrastruktur agar bisa berhubungan antara satu dengan lainnya. Karena itu EDI hanya dipergunakan secara amat terbatas oleh instansi-instamsi resmi yang mampu membiayai operasional sistem EDI.[8]
Transaksi menggunakan sarana komputer atau melalui jaringan Komputer lebih dikenal dengan menggunakan sarana internet lebih dikenal dengan E-Commerce. E-Commerce adalah suatu kontrak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Transaksi dengan menggunakan sarana internete-commerce yang tidak mempertemukan secara langsung antara penjual dengan pembeli, tentunya pembayarannya pun tidak dilakukan secara langsung. Pembayaran transaksi E-Commerce yang menggunakan charge card atau credit card, menimbulkan suatu permasalahan hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card / credit card merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang. Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge card / credit card miliknya dengan berbagai alasan
E Commerce berdasarkan definisinya adalah perdagangan yang ber-basis elektronik di mana perdagangan yang dilakukan melalui fax-pun dapat dikategorikan ke dalam E Commerce. Namun dalam pengertian yang lebih umum diterima masyarakat, E Commerce merupakan perdagangan yang dilakukan melalui internet. E Commerce cara operasionalnya menggunakan komputer dan jaringannya untuk menggantikan proses fisik dan otak manusia untuk memutuskan bagi keperluan komersial, bisnis dan perdagangan. Sehingga E Commerce mempunyai kemungkinan aplikasi di bidang-bidang pemasaran (marketing), spesifikasi dan pencarian (specyfying & searching), negosiasi, perjanjian dan kesepakatan (dealing), pembayaran (settling) serta dukungan (supporting). Digunakannya jaringan E Commerce inilah, semua permasalahan-permasalahan yang menyangkut Electronic Business, Electronic Consumer, dan Global Information Infrastructure dapat dihadapi oleh penjual dan pembeli tanpa harus mempertemukan kedua belah pihak, sehingga keberadaan E Commerce merupakan jembatan penghubung antara penjual dengan pembeli meliputi antar negara.[9]
Segala data, informasi, atau catatan elektronik yang berkaitan dengan dua orang atau lebih yang memiliki akibat hukum merupakan pendukung suatu transaksi elektronik[10].
Transaksi Elektronik Commerce (e-commerce) pada dasarnya merupakan suatu perjanjian dalam bentuk elektronik.  Apabila transaksi e-commerce tersebut hanya dibuat oleh salah satu pihak saja dan pihak lain menyetujuinya, maka dapat dianggap sebagai perjanjian, artinya perjanjian yang ditandatangani oleh salah satu pihak tetapi berakibat pada pihak lainnya.
Cyber Notary Dalam Sudut Pandangan Hukum Indonesia
Permasalahan yang sering muncul dalam perbincangan tentang cyber notary ini adalah akta-akta yang bagaimana yang dimungkinkan dan yang bagaimana tidak dimungkinkan untuk dibuat dalam bentuk cyber notary.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku maka makin terbuka kemungkinan untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menggunakan sarana media elektronik dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), serta dijadikannya informasi elektronik/dokumen elektronik/cetakannya sebagai alat bukti yang sah dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Rlrktronik (UUITE) sehingga akan mengarahkan berkembangna cyber notary dalam dunia pembuatan akta oleh notaris.
Dalam hukum pembuktian akta merupakan salah satu bagian dari alat bukti tertulis, karena alat bukti tertulis dibagi atas dua, yaitu akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.[11]
Tidak semua akta atau kontrak tertulis merupakan akta notaris (akta autentik), karena seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti; notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.
Berbeda dengan akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, dan salah satu pihak yang berwenang ini adalah notaris.
Pengertian akta autentik di atas, sejalan dengan pengertian akta notaris berdasarkan Pasal 1 Angka (7) UUJN, yaitu akta notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini (UUJN).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa secara garis besar akta notaris terdiri atas dua, yaitu akta yang dibuat oleh notaris dan akta yang dibuat di hadapan notaris atau yang biasa disebut akta para pihak. Di samping itu, akta notaris juga dapat dibuat baik karena perintah undang-undang maupun karena kehendak para pihak.              
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dan akta autentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut maka akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain maka pemegang akta di bawah tangan (diuntungkan oleh akta di bawah tangan tersebut) dibebani untuk membuktikan keaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali, maka pemegang akta autentik (yang diuntungkan oleh akta autentik tersebut) tidak perlu membuktikan keaslian autentik tersebut tapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.[12]
Kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh akta autentik (termasuk akta notaris) tentunya jika akta tersebut dibuat dengan prosedur dan isi sebagaimana mestinya, karena akta autentik tidak boleh dilepaskan dari prosedur dan isi akta tersebut. Pada dasarnya suatu akta otentik merupakan akta dibawah tangan yang dengan prosedur tertentu akan berubah menjadi akta autentik, dan sebaliknya akta yang seharusnya merupakan akta autentik tapi karena prosedurnya keliru, maka akta tersebut kembali menjadi akta dibawah tangan. Dengan demikian, masalah autentik atatu tidaknya suatu akta digantungkan pada prosedurnya sebagai bagian dari hukum perdata formal, sedangkan tentang isinya merupakan bagian dari hukum perdata materil.
Cyber Notary belum didukung oleh perundang-undangan di Indonesia, walaupun terdapat kemungkinan-kemungkinan yang dibuka oleh undang-undang tertentu tapi tidak dapat dijalankan karena dibatasi oleh undang-undang lain, sehingga Cyber Notary belum dapat dilaksanakan secara sah di Indonesia.
Undang-undang PT yang memungkinkannya diadakannya RUPS dengan menggunakan media elektronik, tidak mengenyampingkan pembuatan akta notaris secara konvensional jika RUPS tersebut akan dibuatkan akta notaris, karena tidak semua RUPS harus dibuatkan berita acara dengan akta notaris, sebab dalam UUPT sendiri mengatur bahwa hanya RUPS yang dapat mengadakan perubahan Anggaran Dasar yang wajib dibuatkan Akta Notaris.
Undang-undang ITE juga hanya menerima informasi elektronik dan/atau dokumen dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hokum yang sah sepanjang tidak mengenal surat yang harus dibuat secara tertulis/notaril.
Dengan demikian, apabila cyber notary mau dilaksanakan secara sah di Indonesia, maka seharusnya dilakukan perubahan terhadap UUJN beserta peraturan perundang-undangan terkait, karena dengan hanya mengubah UUJN tanpa mengubah peraturan perundang-undangan terkait, maka kemungkinan besar UUJN tersebut tidak relevan.

Kendala-Kendala Dalam Pembuktian Akta Secara Elektronik
Secara umum, ketika diadakan indentifikasi permasalahan e-commerce, permasalahan-permasalahan atau kendala-kendala dalam hal pembuktian dapat dikatagorikan kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1.       Kelompok pertama adalah kelompok permasalahan-permasalahan yang bersifat substantif, meliputi :
a.       Keaslian data message dan tanda tangan elektronik (authenticity) ;
Pada sistem jaringan yang menggunakan TPC (Transmission Control Protokol) atau IP (Internet Protokol), peralatan dasar yang digunakan untuk memverifikasi identitas user adalah password, tetapi password dapat diduga atau diintersepsi.  Alamat internet protokol (IP) dapat dipalsukan atau disadap oleh para hacker sehingga tidak bisa lagi menjamin keaslian data message.  Seorang hacker bisa saja mengirim message atas nama orang lain dengan menggunakan password orang lain itu atau menggunakan address-nya. Masalah keotentikkan data message ini menjadi permasalahan yang sangat vital dalam e-commerce, karena data message inilah yang dijadikan dasar utama terciptanya suatu kontrak, baik hubungannya dengan kesepakatan mengenai ketentuan-ketentuan dan persayaratan kontrak ataupun substansi kesepakatan itu sendiri.  Dengan demikian, hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah keabsahan (validity) kontrak, keamanan (security) dan juga kerahasiaan dokumen (privacy).  Sebagai wujud solusi permasalahan diatas, selama ini dimunculkan beberapa alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan kepastian terhadap data message, yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik (digital signature). Dua teknik tersebut selama ini dianggap pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama bahkan lebih baik dari pada dokumen kertas. Kriptografi merupakan sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengontentikkan data yang terdiri dari dua proses, yaitu enskripsi (encryption) dan deskripsi (descryption). Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi yaitu menjadikan teks informasi dapat dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang. Kriptografi konvensional biasanya menggunakan pasangan kunci tertentu untuk melakukan enskripsi dan deskripsi itu, dalam setiap proses kriptografi memiliki 3 (tiga) bagian dasar, yaitu:[13]
1)      Plaintext----message asli dalam bentuk yang bisa dibaca;
2)      Ciphertext----message plaintext setelah enskripsi menjadi tulisan yang tidak terbaca ;
3)      Encryption algorithm----formula matematis yang digunakan untuk mengenskripsi data message.  Kunci yang berbeda akan melahirkan ciphertext yang berbeda ketika digunakan dengan menggunakan algoritma yang sama.        
b.       Keabsahan (validity) ;
Masalah substansial lain dalam e-commerce ini adalah masalah keabsahan penggunaan data message dalam pembuatan kontrak dan sekaligus menimbulkan permasalahan mengenai keabsahan kontrak itu sendiri. Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan syarat-syarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak kontrak telah terpenuhi, maka hal yang diutamakan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak, maka kontrak dinyatakan sah terjadi. Namun dalam e-commerce, terjadinya suatu kesepakatan atau perjanjian sangat erat hubungannya dengan penerimaan atas keabsahan dan otentiknya data message yang memuat kesepakatan tersebut.  Berkenaan dengan hal ini, maka UNCITRAL Model Law yang menjadi rujukan pembuatan undang-undang dan hukum e-commerce di seluruh dunia menyatakan pada pasal 5, bahwa sebuah informasi, efek, validitas atau keberdayaan hukumnya, tidak dapat ditolak semata-mata atas dasar karena dalam hal ini berbentuk data message.
Pasal 5 UNCITRAL Model Law tersebut secara tegas menolak keraguan atas keabsahan data message sebagai dasar dari sebuah kesepakatan atau perjanjian. Data message yang dimaksud adalah data message yang keotentikkannya telah dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik atau instrument yang terpercaya.  Pernyataan UNCITRAL atas keabsahan on-line contract ini memiliki pengaruh sebagai consideration bagi negara-negara yang mengatur masalah e-commerce. 
c.       Kerahasiaan (privacy/confidentiality);
Kerahasiaan yang dimaksud meliputi kerahasiaan data atau informasi serta perlindungan terhadap data dan informasi dari akses yang tidak sah dan berwenang.  Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini merupakan permasalahan yang sangat penting dalam hubungan dengan proteksi terhadap data keuangan suatu perusahaan atau organisasi, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya yang bersifat rahasia.  Informasi yang berhubungan dengan waktu dan daftar harga untuk jangka waktu tertentu merupakan suatu hal yang bersifat rahasia dan harus dilindungi. Permasalahan kerahasiaan ini sangat penting untuk kelanjutan dari perkembangan (sustainable development) e-commerce, oleh karena itu diperlukan suatu solusi yang tepat. Kegagalan untuk memberikan proteksi kepada kerahasiaan semacam ini dapat menimbulkan terjadinya suatu dispute yang berujung kepada tuntutan ganti rugi dan lain sebagainya.    
d.      Keamanan (security);
Masalah keamanan merupakan suatu masalah yang tidak kalah pentingnya dengan masalah-masalah lainnya karena keamanan akan menciptakan rasa confidence bagi para user dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik bagi kepentingan bisnisnya.  Kepercayaan semacam ini akan terjadi apabila adanya suatu jaminan dan tidak adanya pihak yang tidak bertanggung jawab dalam proses perdagangan elektronik yang dilakukan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan (error) pada sistem atau data atau dengan cara membuka dan menyebar luaskan kerahasiaan yang seharusnya disimpan secara aman.
e.       Availibilitas (availability).
Di samping permasalahan yang telah disebutkan diatas, permasalahan lain yang juga harus diperhatikan adalah keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik dan harus tersedia setiap kali dibutuhkan. Masalah ini erat hubungannya dengan sistem pengamanan dan kekokohan sistem yang dapat memproteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau hambatan pada jaringan, baik kesalahan itu bersifat teknis, jaringan ataupun kesalahan profesional. Disamping itu, karena e-commerce  tidak mengharuskan adanya pertemuan fisik atau tatap muka antara para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak e-commerce, maka timbul permasalahan lain yaitu masalah keberadaan barang yang diperjualbelikan secara elektronik.  Hal ini sangat berkaitan dengan trust (kepercayaan) dan good faith (itikad baik) dari para pihak. Masalah terakhir adalah masalah personal, hal ini menjadi permasalahan yang bersifat substansial karena sangat erat kaitannya dengan penyelesaian kontrak itu sendiri.  Permasalahan lainnya yang masih berhubungan dengan availability adalah masalah availability data, dimana informasi yang disimpan dan ditransmisikan melalui lalu lintas jaringan itu harus available (bisa diperoleh) kapan saja dibutuhkan, sehingga harus ada suatu cara yang bisa mengatasi kemungkinan terjadinya error (kesalahan) baik yang disebabkan karena rusaknya program ataupun karena masuknya virus ke dalam sistem komputer.   
2.       Kelompok permasalahan-permasalahan yang bersifat prosedural, meliputi :
a.       Yurisdiksi atau forum (jurisdiction);
Yurisdiksi atau forum merupakan kekuasaan pengadilan untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Masalah yurisdiksi ini sangat kompleks, rumit, krusial dan urgen dalam e-commerce karena setiap putusan pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal incasu pihak-pihak, dinyatakan batal demi hukum (null and void).  Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yurisdiksi menjadi relevan ketika pengadilan mencoba mempergunakan kekuasaannya terhadap setiap orang yang bukan penduduk atau tidak bertempat tinggal dalam batas-batas negara dari wilayah kekuasaan pengadilan, bahkan pengadilan tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali negara mengadakan hubungan ekstradisi, maka para pihak yang melakukan kontrak antar negara yang mempunyai hubungan ekstradisi tersebut dapat menggunakan pilihan hukum atau menentukan hukum yang akan digunakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam penentuan yurisdiksi perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: lokasi para pihak; objek, barang atau jasa; kehadiran (presence) para kontraktan. Selanjutnya terhadap negara yang ikut serta dalam konvensi biasanya diberlakukan peraturan mandatory (pelimpahan wewenang), sedangkan terhadap badan hukum atau perusahaan maka penentuan forumnya adalah domisili perusahaan. Pada konsepsi mengenai alternatif pilihan (opsi), dimana penggugat memilih yurisdiksi berdasarkan hal-hal berikut:
1)      Lex loci contraktus, yaitu tempat dimana kontrak tersebut dilakukan oleh para pihak ;
2)      Lex loci delictionis, yaitu tempat dimana para pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum atau pelanggaran dan mengakibatkan terjadinya akibat dari perbuatan hukum tersebut ;
3)      Terhadap delicti yang terjadi yaitu berdasarkan dua tempat yang terjadi maka penggugat dapat memilih salah satu forum ;
4)      Terhadap cabang perusahaan maka pilihan forum pada lokasi atau tempat cabang ;
5)      Terhadap dua tergugat, maka penggugat boleh memilih salah satunya ;
6)      Terhadap yurisdiksi khusus/ekslusif ;
7)      Yurisdiksi menurut konvensi dimana terdapat klausula;
8)      Terhadap konsumen, diberlakukan forum konsumen ;
9)      Terhadap tender pekerja dimana terdapat klausula dalam e-commerce, diperhatikan bukti-bukti komputer.
Dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dikatakan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi terhadap seseorang apabila pengadilan tersebut memiliki wewenang untuk mengadili persengketaan yang melibatkan para pihak dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak serta memberikan putusan yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Jadi, yurisdiksi pengadilan didasarkan atas batas-batas teritorial dari negara-negara atau pemerintahan yang diwakili oleh pengadilan yang bersangkutan. Pada akhirnya, masalah yurisdiksi ini erat kaitannya dengan masalah hukum yang akan diterapkan pada kasus yang terjadi, yang dalam istilah hukum disebut dengan choice of law atau applicable law (hukum yang dapat diterapkan).   
b.       Hukum yang diterapkan (applicable law) ;
HPI (Hukum Perdata Internasional) mengatur pilihan hukum dalam perkara-perkara internasional. Pada prinsipnya bentuk dan pengaruh suatu kontrak ditentukan oleh pilihan hukum para pihak.  Apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak jelas maka perjanjian diatur oleh hukum, tempat dimana perbuatan itu dilakukan atau terjadi. Dalam kaitan dengan e-commerce, timbul suatu masalah yaitu mengenai gambaran hukum penawaran dalam internet. Dikatakan bahwa pada umumnya penawaran tercantum dalam homepage (situs), sehingga ketika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban dari para pihak yang membuat kontrak dapat ditentukan oleh hukum yang berlaku dari suatu negara salah satu pihak, dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan hukum yang memiliki signifikasi terdekat dengan masalah dari para pihak. Hukum yang diterapkan, disesuaikan dengan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pengadilan pertama-tama melihat isi dari kontrak tersebut khususnya klausula tentang pilihan hukum, apabila ada, maka kemudian pengadilan mengadakan dugaan hukum dengan melibatkan istilah-istilah yang digunakan dalam perjanjian dan keadaan sekitarnya dengan memperhatikan petunjuk dan semua unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam kontrak yang bersangkutan untuk mengetahui dan menentukan pilihan hukum. 
KESIMPULAN
Berdasarkan hukum perdata di Indonesia, kontrak atau perjanjian diatur dalam buku III KUH-Perdata tentang perikatan. Secara umum kontrak terjadi karena adanya suatu kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan itu diwujudkan dalam suatu perjanjian yang menjadi dasar perikatan bagi pihak-pihak tersebut. Aspek hukum perjanjian atau kontrak elektronik (e-commerce) dapat memiliki kekuatan hukum berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata tentang kebebasan berkontrak.  Asas konsensualitas yang tersirat dalam Pasal 1320 KUH-Perdata dapat dijadikan dasar kekuatan hukum adanya kontrak elektronik, segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak dalam kontrak elektronik (e-commerce) menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak.
Aspek hukum pembuktian berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia dapat diterapkan terhadap kontrak elektronik, walaupun hanya dianggap sebagai alat bukti tertulis dan bukan akta, tetapi berupa tulisan biasa saja dan atau sebagai persangkaan sesuai dengan hukum acara perdata Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan juga ketentuan yang terdapat dalam UU ITE.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak apabila terjadi sengketa, dalam hal ini mengenai pembuktian kontrak elektronik, maka hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, seperti merujuk kepada UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce,  kegiatan e-commerce yang diatur dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, dapat digunakan sebagai pegangan atau kepastian hukum dalam transaksi perdagangan internasional.  UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, secara eksplisit memberikan nilai legal (sah) yang sama kepada transmisi elektronik seperti halnya bentuk tertulis.  Penyamaan nilai legal antara transmisi elektronik dengan bentuk tertulis ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian yang juga diatur dalam ketentuan yang terdapat dalam UU ITE. 
Untuk mengantisipasi lalu lintas perdagangan yang mempergunakan teknologi informasi, pihak yang berwenang diharapkan secepatnya membentuk peraturan perundang-undangan mengenai akta secara elektronik terutama sekali dalam e-commerce sehingga dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.






[2] Budi Rahardjo; Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia; www.budi.insan.co.id
[3] Didik M ARif Mansur dan Elisatris Gultom; Cyberlaw, Aspek Hukum Teknologi Informasi; Cetakan I, Bandung; PT. Refika Aditama; 2005; h. 4
[4] Agus Raharjo; Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi; Cetakan I, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti; 2002; h. 1
[5] Subekti , Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 2005, hal 1
[6] Subekti, Op. Cit., hal 17
[7] Sudikno Mertokusumo, HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA, Edisi Keempat, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 119.
[8] Evi Retnowulan, SH., MHum dan Regina Hernani; TINJAUAN HUKUM JUAL BELI SECARA ONLINE; Makalah Pada Fakultas Hukum Narotama Surabaya; h.1
[9] Evi Retnowulan SH, Mhum; Op.Cit; h.2
[10] Budi Fitriadi, “LAPORAN PENELITIAN TENTANG ASPEK HUKUM KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK COMMERCE”, hlm. 37.
[11] Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ketiga, Liberty, Yogyakarta, hal.116
[12] Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 15
[13] M. Arsyad Sanusi, Op. Cit., hlm. 74 

Bagaimana Lepas Dari Pidana Penadahan?

Saat melakukan transaksi jual beli barang, terkadang atau kebanyakan pembeli tertarik dengan barang dengan nilai dibawah harga pasar. Tin...