Dalam
praktek kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat sudah sangat biasa melakukan
berbagai perbuatan terkait dengan lapangan hukum perdata seperti pinjam
meminjam atau jual beli. Hal ini memberikan implikasi yang cukup kuat dalam
berjalannya proses bisnis atau kegiatan yang dilakukan masyarakat. Namun
demikian, bukan tidak mungkin dalam perjalanannya terjadi kemacetan pembayaran
proses pinjam meminjam atau jual beli ini. Hal ini tentunya mengakibatkan
kerugian pada pihak yang memberikan pinjaman atau pihak penjual maupun pembeli
yang dalam istilah hukum dikenal dengan wan prestasi.
Wanprestasi
merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam suatu
perjanjian. Hak dan kewajiban timbul karena adanya perikatan dalam perjanjian
yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Tapi kemudian, pada praktek di
lapangan cenderung penyelesaian hal ini diarahkan pada ranah hukum pidana, baik
itu dikualifikasikan sebagai Penipuan atau Penggelapan (Pasal 378 atau Pasal
372 KUHP) oleh lembaga Penyidik Kepolisian yang kemudian mengarah pada
penuntutan di Pengadilan oleh Kejaksaan. Bahkan parahnya, hal ini dilakukan
dengan melakukan upaya paksa berupa penahanan yang telah merampas hak-hak
kemanusiaan.
Wajarkah memasukkan kualifikasi hukum keperdataan ke ranah
hukum pidana?
Pada
dasarnya, setiap orang berhak untuk saling mengikatkan diri dalam suatu
hubungan-hubungan hukum dengan berpedoman pada asas kebebasan berkontrak yang
dianut dalam hukum perjanjian. Setiap perjanjian akan menimbulkan beberapa
perikatan yang berisi hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.
Hubungan yang timbul dari hukum perikatan bersifat khusus dan individual karena
hanya memiliki kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Sehingga akibat
hukum yang timbul atas terlanggarnya hak dan kewajiban tersebut merupakan
domain dari hukum privat. Berbeda halnya dengan hukum pidana dimana setiap
kewajiban yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh penguasa dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Sementara
itu, dalam lapangan hukum pidana yang dikenal dengan rumusan delik sering kita
menjumpai istilah ”melawan hukum” yang sebenarnya merupakan terjemahan dari
istilah ”wederrechtijkheid”. dalam Bahasa Belanda. Sifat melawan hukum harus
selalu ada di dalam setiap tindak pidana, baik dicantumkan secara tegas sebagai
unsur tindak pidana seperti pada Pasal 362, 372, dan 378 KUHP, maupun dianggap
selalu termuat dalam setiap rumusan tindak pidana. Wederrechtijkheid
diterjemahkan beberapa sarjana secara berbeda-beda dan tidak ada keseragaman
pendapat. Diantara beberapa batasan yang berkembang antara lain, menurut Simon
kata ”recht” dalam wederrechtelijk diterjemahkan sebagai ”hukum”. Perbuatan
yang mengandung wederrechtelijk tidak perlu melawan hak orang lain, namun sudah
cukup apabila perbuatan itu melawan ”objectief recht”. Noyon mengartikan
”recht” itu sebagai hak (subjectief recht), sedangkan H.R. dalam Putusannya
tertanggal 18 Desember 1911 W. No. 9263 ”recht” ditafsirkan sebagai hak atau
kekuasaan dan wederrechtelijk berarti tanpa kekuasaan atau tanpa hak.
Dari
beberapa teori pada umumnya menyebutkan sifat melawan hukum tindak pidana
ditujukan pada suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum,
sedangkan hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam
artian formil maupun materiil. Pengertian hukum yang bersifat umum adalah hukum
yang mengatur dan mengikat kehidupan masyarakat secara umum. Selanjutnya Noyon
mengatakan bahwa Zonder recht (tanpa hak) itu adalah berbeda dengan tegen het
recht (melawan hukum) dan perkataan wederrechtelijk itu dengan tidak dapat
disangkal lagi menunjuk pada pengertian yang terakhir. Sedangkan terminologi
wederechtelijkheid dalam kaitannya sebagai bentuk ”melawan hak” adalah
semata-mata merujuk pada hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara
umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari hubungan kontraktual.
Berangkat
dari hal tersebut, kita akan bandingkan”melawan hukum” dalam tindak pidana
dengan ”melawan perikatan” dari hubungan kontraktual. Sifat melawan hukum
melekat pada suatu perbuatan sehingga perbuatan itu dapat dipidana, baik karena
bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif
orang lain, namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula dilarang
peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan ”melawan perikatan” melekat pada
perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari
perjanjian, dimana Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan”semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat ”sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”? Jika kita simak makna dari kalimat diatas, maka sesungguhnya
pembentuk undang-undang ingin memberikan kekuatan mengikat yang sama antara
perjanjian yang dibuat secara sah dengan undang-undang yang dibuat penguasa,
namun perlu diperhatikan bahwa kedudukan tersebut hanya ditujukan bagi para
pihak yang membuat perjanjian, artinya meskipun perjanjian dipersamakan daya
mengikatnya dengan undang-undang bukan berarti perjanjian memiliki kedudukan
seperti undang-undang yang berlaku secara umum. Makna dari ”kekuatan
mengikatnya sebagaimana undang-undang” semata-mata terletak pada hak menuntut
pemenuhan prestasi dan ganti kerugian dihadapan pengadilan seperti halnya jika
orang melanggar undang-undang.
Secara
umum ”melawan hukum” dengan ”melawan perikatan” memiliki perbedaan antara lain:
ü
Sifat
melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan atau perbuatan
yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan
melawan perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan
hukum yang berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang
membuatnya.
ü
Suatu
tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanya perbuatan
tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan
perikatan yang oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, ganti
rugi, denda maupun bunga.
ü
Sifat
melawan hukum melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan hukum yang
dibuat oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan
yang telah melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.
Dalam
memahami wanprestasi dan tindak pidana penipuan kita sering tersesat dalam
menafsirkan unsur ”tipu muslihat” dan ”serangkaian kebohongan” dalam Pasal 378
KUHP dengan pengertian ”ingkar janji” dalam hubungan kontraktual, sepintas
memang seperti sama, namun jika kita telaah secara lebih mendalam, maka akan
muncul beberapa perbedaan yang sangat prinsip yang bisa menjadi indikator untuk
membedakan antara delik penipuan dengan wanprestasi. Diakitkan dengan tindak
pidana penggelapan dalam Pasal 372 KUHP kita sering tersesat akan makna
“melawan hukum” dengan “melawan perikatan”.
Berdasarkan
penelaahan di atas, jelas sifat melawan hukum dalam tindak pidana memiliki
karakteristik berbeda dengan sifat melawan perikatan dalam perjanjian, sehingga
di antara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan
kesimpangsiuran proses penyelesaian terhadap dua karakteristik pelanggaran
hukum tersebut. Setiap penegakan hukum yang telah membawa suatu perbuatan yang
melanggar hak dan kewajiban dalam hukum perikatan ke dalam ranah hukum pidana
(delik penipuan atau pun delik penggelapan) merupakan suatu pelanggaran
prosedur (undue process) dan
bertentangan dengan tertib hukum yang berlaku. Hal ini tentunya akan
mengakibatkan apa yang sering dikhawwatirkan para ahli hukum mengenai Miscarriage of Justice (kegagalan
penegakan hukum).
NOOR AUFA,SH,CLA
Email : aufa.lawyer@gmail.com
Phone/WA : +6282233868677
No comments:
Post a Comment