Wednesday 1 November 2017

Kesalahan dan Kelalaian Dokter Dalam Hukum

Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medis yang dilakukan dokter dalam proses perawatannya. Ketidakpuasan tersebut dapat terjadi karena "hasil" yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pasien dan keluarganya. Hasil pengobatan yang mengecewakan serta tidak sesuai harapan pasien atau keluarganya, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya dan cenderung dianggap sebagai malpraktik dokter.

Hariyani (2005) mengemukakan dalam kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah "informed consent". Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah "sengketa medik".


Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :

1.    Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.
2.    Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko tinggi dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
3.    Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.
4.    Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh dokter.
5.    Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.
Apakah tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian dokter?
Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas dasar ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut :
1.     Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien.
2.     Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.
3.     Adanya kerugian dipihak pasien.
4.     Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed consent dan kerugian tersebut.

Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004) menyatakan bahwa "kelalaian" sebagai terjemahan dari 'negligence", yang dalam arti umum bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself with trifles).

Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang.

Untuk menentukan adanya kelalaian dokterHariyani (2005) menyebutkan 4 unsur yang disingkat dengan "4D" yaitu sebagai berikut :
a.    Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.
b.    Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)
c.    Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)
d.    Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.

Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana, maka Jonkers (Guwandi, 2004) mengemukakan 4 unsur sebagai berikut :
a.    Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)
b.    Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)
c.    Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)
d.    Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.

Menurut hukum pidana (Nasution, 2005)kelalaian terbagi menjadi 2 :
a.     "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (lihat pasal 205 KUHP)
b.     "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan (lihat pasal 359, 360, dan 361 KUHP)

Nasution (2005) mengemukakan pendapat Picard (1984) tentang 3 katergori yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut :
1.     Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk tenaga kesehatan
2.     Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan
3.     Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi tenaga kesehatan.

C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman (Nasution, 2005) mengemukakan 3 faktor yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi, yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan
2. Kurangnya pengalaman
3. kurangnya pengertian

Dari semua pendapat diatas, ada 2 pakar hukum yang memberikan kesimpulan sebagai berikut :
Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :
a.    Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin
b.    Bertentangan dengan hukum
c.    Bertentangan dengan standar profesi medis
d.    Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.
e.    Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan menyolok dan sebagainya.

Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut :
a.     Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
b.    Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
c.     Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate - Legal Consultant - Mediator - Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)
www,pengacarariau.com
www.konsultasihukum.riau.blogspot.co.id
www.advokat-auditorhukum.blogspot.co.id






Berikut matriks persyaratan dan tata cara pengajuan Hak Uji peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi:

PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH KONSTITUSI
Kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut:
a.   MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
b.   MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU 5/2004)

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara TERTULIS dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa Indonesia (lihat Pasal 31A ayat [1]  UU 3/2009).

Permohonan judicial reviewhanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a.   perorangan warga negara Indonesia;
b.   kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c.   badan hukum publik atau badan hukum privat.
(lihat Pasal 31A ayat [2] UU 3/2009)

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.   nama dan alamat pemohon;
b.   uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelasbahwa:
1.        materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2.        pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c.   hal-hal yang diminta untuk diputus.
(lihat Pasal 31A ayat [3] UU 3/2009)

Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“Perma 1/2004”)dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara:
a.   Langsung ke MA; atau
b.   Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)
c.   Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4] Perma 1/2004).
d.   Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma 1/2004). 
e.   Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung (Pasal 3 Perma 1/2004):

i.        Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;
ii.       Dibukukan dalam buku register permohonan;
iii.     Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah;

f.     Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 4 Perma 1/2004):
i.    Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;
ii.   Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
iii. Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;
iv.    Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10  UU MK, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon judicial reviewadalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK):
a.        perorangan warga negara Indonesia;
b.        kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.        badan hukum publik atau privat; atau
d.        lembaga negara.

Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK).

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UU MK) yang memuat sekurang-kurangnya:
a.   Identitas Pemohon, meliputi:
i.   Nama
 ii.  Tempat tanggal lahir/ umur -  Agama
             iii.   Pekerjaan
 iv.   Kewarganegaraan
v.  Alamat Lengkap
vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)

b.   Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
i.   kewenangan Mahkamah;
ii.   kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
iii.  alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
 c.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
i.        mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
iii.   menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
i.     mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
iii.   menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK):
a.       surat atau tulisan;
b.     keterangan saksi;
c.     keterangan ahli;
d.      keterangan para pihak;
e.      petunjuk; dan
f.       alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.  

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu (lihat Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).

Tata cara pengajuan permohonan:
1.   Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.
2.   Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh talon Pemohon dengan Panitera.
3.   Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:
a.        Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
i.     foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,
ii.    bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat,
iii.   akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohon adalah badan hukum,
iv.   peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
b.        Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;
c.        Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;
d.        Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
4.   Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.
5.   Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6.   Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
7.   Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.
(lihat Pasal 6 Peraturan MK 6/2005).


Disarikan dari berbagai sumber
NOOR AUFA,SH,CLA
Advokcate-Legal Consultant-Mediator-Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)

PEMBERIAN KUASA DALAM HUKUM INDONESIA


Surat kuasa secara umum diatur dalam BW, buku ketiga tentang perikatan, tepatnya pada bab yang ke XVI dalam pasal 1792 yang menyebutkan “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.

Dilihat dari cara merumuskan, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua jenis yaitu  kuasa khusus dan kuasa umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1795 BW yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa”.

Dilihat dari jenis surat kuasa yang diatur dalam undang-undang dapat dibedakan menjadi 4 jenis surat kuasa, yaitu:

1.     Kuasa Umum

Dalam pasal 1796 KUH Perdata, menyatakan Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Contohnya: seorang manager suatu perusahaan yang diberikan kuasa bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa dari Direktur PT, dia dapat melakukan tindakan yang mewakili Direktur tersebut untuk melakukan hal yang dipersyaratkan dalam pasal 1796 KUH Perdata tadi, seperti salah satu contoh berdasarkan pasal tadi yaitu melakukan pemindahan barang-barang produksi dari satu tempat ke tempat yang lain, atau juga tindakan-tindakan seperti transaksi jual-beli tergantung dengan batas dalam kuasa yang diberikan. namun, ditinjau dari segi hukum, untuk surat kuasa ini tidak dapat digunakan dalam sidang di pengadilan. Sebab, sesuai dengan ketentuan lain yang termuat dalam pasal 123 HIR (HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT) / pasal 147 RBg (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN) yang menyatakan bahwa untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa istimewa (khusus). Jadi berhubung kepada contoh tadi, apabila terjadi permasalahan hukum pada PT tersebut dan masuk ke dalam persidangan dipengadilan, maka sang manajer tidak dapat bertindak mewakili PT tersebut kecuali kepadanya telah diberika surat kuasa khusus.

2.     Kuasa Khusus

Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa  dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa khusus ini, tidak bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan pasal 123 HIR ayat (1), yang menyatakan Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus, kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini. Apabila kita lihat dari makna yang terkandung pada pasal tersebut dari sudut pandang pengaturan pembuatan pemberian kuasa, surat kuasa khusus dalam format pasal ini sangat lah sederhana, hanya dengan memberikan judul khusus pada surat kuasa, kemudian dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk yang terlalu sederhana ini dalam perkembangan sejarah peradilan di Indonesia dinilai sudah tidak tepat lagi, sehingga dilakukan lah penyempuranaan oleh MA melalui SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus yang benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Dalam perkembangan nya SEMA ini juga mengalami beberapa pergantian, dimulai dari SEMA No.2 Tahun 1959, sampai dengan yang terakhir SEMA No. 6 tahun 1994, 14 Oktober 1994. Dalam SEMA yang terakhir, pada dasarnya lebih kembali menyerupai dengan syarat pembuatan surat kuasa khusus yang diatur pada SEMA No.02 Tahun 1959, karena SEMA ini dianggap lebih tepat untuk penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus dibanding dengan SEMA setelahnya -sebelum SEMA terakhir-. Persyaratan pembuat surat kuasa khusus menurut SEMA ini yaitu:
  • Dalam surat kuasa khusus harus menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan
  • Menyebutkan tentang kompetensi relatif
  • Menyebut identitas dan kedudukan para pihak secara jelas, dan
  • Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan.

Dan seluruh syarat diatas bersifat kumulatif. Apabila ada salah satu dari syarat diatas tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan kuasa tidak sah.

3.     Kuasa Istimewa

Surat kuasa istimewa diatur dalam pasal 157 HIR (pasal 187 RBg), yang menyatakan Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi dengan surat yang syah, di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan diangkat itu. Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan dalam pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpah nya di pengadilan berhalangan dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit-. Jadi, entang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa , hanya terbatas:
  • untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-undangan,
  • untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau meletakan hipotek (hak tanggungan) diatas benda tersebut,
  • dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.

Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat diberikan dengan surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para praktisi hukum, adalah surat yang berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte notaris dan ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan oleh penerima kuasa.

Secara kesimpulan, surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah, yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.

4.     Kuasa Perantara

Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH Perdata yang mengatur secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang menyatakan Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.  Sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur.

NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677 (Phone/WA)



Bagaimana Lepas Dari Pidana Penadahan?

Saat melakukan transaksi jual beli barang, terkadang atau kebanyakan pembeli tertarik dengan barang dengan nilai dibawah harga pasar. Tin...